Transformasi Pertanian Dimulai dari Halaman Belakang Rumah
Pertanian keluarga menawarkan kemandirian dan kembali ke alam di Indonesia
Kenangan paling awal Nissa Wargadipuras adalah belajar hidup bersama alam. Halaman belakang rumah masa kecilnya di kota berbukit Garut, Jawa Barat, adalah sebuah hutan kecil tempat ayahnya menanam sayuran, rempah-rempah, dan buah-buahan. Ibunya membuat obat tradisional dari tanaman-tanaman tersebut untuk keluarga dan tetangga mereka.
"Setiap kali saya pulang sekolah, ibu selalu mengajak saya untuk 'berburu'," kata Nissa. Tradisi "berburu di halaman belakang rumah" telah lama menjadi bagian dari kehidupan etnis Sunda di Jawa Barat, Indonesia. "Saya 'berburu' jambu biji, kelapa, kunyit, cabe rawit, semuanya. Saya bisa menemukan semua yang saya butuhkan di halaman belakang rumah orang tua saya."
Orang Sunda di kampung Nissa menganggap rumah mereka bukan hanya sebagai tempat beristirahat dan berteduh, tetapi juga sebagai sarana untuk mencari makan dan mencari nafkah.
Kenangan indah masa kecil Nissa di Garut menunjukkan akar yang dalam dari pertanian keluarga dalam kehidupan pedesaan Indonesia. Namun, perjuangannya untuk mempertahankan tradisi tersebut di tengah kesulitan politik dan kemiskinan menggambarkan ancaman yang dihadapi petani keluarga di seluruh Indonesia.
Mencari solusi
Nissa masih duduk di bangku SMA pada tahun 1989 ketika ia pertama kali menyadari bahwa mata pencaharian keluarganya - dan juga para petani lain di Garut - terancam. Ia bergabung dengan gerakan mahasiswa untuk melindungi hak-hak petani lokal dan menentang kebijakan pemerintah dalam pembebasan lahan.
Akhirnya, perjuangannya membuahkan hasil. "Akhirnya pada tahun 1997, sekitar 700 petani mendapatkan tanah mereka kembali," katanya.
Tahun berikutnya, Nissa dan teman-temannya mendirikan "Serikat Petani Pasundan". Organisasi ini menjadi salah satu organisasi petani paling berpengaruh di Jawa Barat, dan saat ini memiliki lebih dari 100.000 anggota.
Mendapatkan tanah mereka kembali adalah langkah pertama, tetapi itu tidak melindungi petani dari kerusakan akibat kemiskinan.
Nissa mengalami keputusasaan secara langsung ketika ia tinggal bersama komunitas petani di kaki gunung Papandayan, Jawa Barat. Para petani menanam sayuran berdasarkan pesanan dari tengkulak yang menguasai pasar pusat kota. Para tengkulak ini menyediakan benih, pupuk agrokimia, dan vitamin bagi para petani. Mereka juga mendorong petani untuk beralih ke sistem monokultur untuk mencapai target produksi. Tingginya biaya input meningkatkan ketergantungan petani pada tengkulak, dan ketika harga sayuran jatuh, petani hanya memiliki sedikit uang untuk bertahan hidup.
Bukan sekolah biasa
Nissa memutuskan untuk mencari cara memberdayakan para petani, mengurangi ketergantungan mereka pada perantara, dan menghidupkan kembali pengalaman hidup dekat dengan alam.
Namun, satu-satunya cara agar para petani dan anak-anak mereka dapat kembali percaya pada kearifan tradisional mereka, menurut Nissa, adalah melalui pendidikan. Pada tahun 2008, Nissa dan suaminya mendirikan sekolah lapang petani yang disebut At-Thariq (yang berarti "jalan" dalam bahasa Arab) untuk mengajarkan agroekologi, ketahanan pangan, dan agama kepada kaum muda. Para siswa juga terdaftar di sekolah-sekolah tradisional untuk mendapatkan pendidikan formal.
Para siswa tidur dan makan di sekolah. Mereka juga menerima pelajaran pertanian berkelanjutan, belajar dengan melakukan.
Di lahan seluas satu hektar, Nissa merancang sistem penanaman berdasarkan tumpang sari, di mana berbagai tanaman dibudidayakan secara bersamaan di lahan yang sama. Area penanaman dibagi menjadi beberapa zona: zona untuk buah-buahan tropis, kolam ikan di zona lain, dan zona makanan pokok di mana mereka menanam singkong dan talas. Sekolah juga menanam berbagai macam sayuran seperti tomat, kangkung, dan rempah-rempah.
Kegiatan dimulai pada pukul 4 pagi dengan doa pagi. Setelah itu, para siswa SMA bersiap-siap ke sekolah, sementara para mahasiswa menyiapkan makanan untuk sarapan dan makan siang, serta memanen sayuran, buah, dan ikan untuk makan malam. Di sore hari, para siswa sekolah dasar merawat kebun. Di malam hari, mereka belajar lebih banyak tentang pertanian dan di akhir pekan, mereka menghabiskan waktu seharian di pertanian. Sekolah ini hanya menerima 30 siswa karena lahan pertanian hanya mampu menampung 30 orang.
"Para siswa harus makan dari pertanian yang mereka kelola. Ini adalah salah satu pelajaran utama kami," jelas Nissa.
Close to home
Nunung Nurhasana menghabiskan waktu lima tahun di At-Thariq selama masa SMA dan kuliah. Setelah lulus dari sekolah tinggi pendidikan di Garut, ia kembali ke desanya. Berbekal ilmu dan pengalamannya dari At-Thariq, Nunung menerapkan ide-ide yang ia pelajari.
Desa tempat Nunung tinggal menghasilkan berbagai macam buah-buahan seperti pisang, pepaya, dan kelapa. Ia dan para petani perempuan di desanya mengolah sisa buah menjadi makanan ringan dan minuman, yang kemudian ia promosikan dan jual di media sosial.
Nunung mengatakan bahwa ia hanya mengeluarkan sedikit uang untuk makan karena, "Saya memiliki semua yang saya butuhkan di halaman belakang rumah."
At-Thariq memiliki lebih dari 1.000 alumni. Sebagian besar, seperti Nunung, tetap tinggal di desa mereka dan menerapkan pelajaran yang mereka dapatkan.
Pertanian keluarga
"Perjalanan Nissa menawarkan beberapa solusi untuk berbagai tantangan yang kita hadapi dalam upaya menciptakan sistem pangan yang lebih berkelanjutan dan tangguh," ujar Pierre Ferrand, penanggung jawab FAO untuk pertanian keluarga di kawasan Asia Pasifik. "Petani keluarga harus menjadi inti dari transformasi pertanian."
Pertanian keluarga melestarikan produk pangan tradisional, berkontribusi pada pola makan seimbang, menggunakan sumber daya alam secara berkelanjutan, dan menjaga keanekaragaman hayati dunia. Melalui Inisiatif Pertanian Keluarga sebagai bagian dari Dekade Pertanian Keluarga, FAO mendorong contoh nyata, seperti Nissa, tentang nilai-nilai dan gaya hidup yang secara konkret membantu dunia mencapai masa depan yang lebih berkelanjutan.
Benih-benih transformasi pertanian yang ditanam Nissa 12 tahun yang lalu telah mulai membuahkan hasil. Dan semuanya dimulai dari halaman belakang rumahnya.