Nelayan Kepiting Rajungan di Cirebon Bersiap untuk Perikanan yang Lebih Berkelanjutan
01 Februari 2022
Indonesia merupakan produsen kepiting bakau terbesar ketiga di dunia, namun praktik-praktik yang ada saat ini mengancam keberlangsungannya.
Kepiting Rajungan (Blue Swimming Crab atau BSC) merupakan salah satu komoditas perikanan laut yang memiliki potensi ekonomi tinggi di Indonesia yang sebagian besar diproduksi oleh nelayan skala kecil (menggunakan kapal <10 GT). Produksi BSC di Indonesia menduduki peringkat ketiga di dunia setelah tuna dan udang. Komoditas ini memiliki permintaan ekspor dan harga jual yang tinggi. Nilai ekspor BSC mencapai Rp 4,6 triliun per tahun, dengan tiga pasar utama yaitu Amerika Serikat (71%), Jepang (9%), dan Malaysia (7%).
Namun, praktik-praktik penangkapan yang ada saat ini terus mengancam sumber daya BSC. Penangkapan ikan yang berlebihan, alat tangkap yang merusak lingkungan, serta tempat pembibitan dan pemijahan yang tidak terlindungi masih menjadi tantangan serius dalam perikanan BSC.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) melakukan pendampingan bersama selama 3 hari kepada nelayan kepiting rajungan skala kecil di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, untuk mendukung penerapan strategi panen BSC dan pengelolaan perikanan tangkap berbasis kontrol hasil.
Cirebon merupakan salah satu pusat perikanan kepiting rajungan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) 712 di Laut Jawa. WPPNRI 712 menghasilkan 47,5% dari total produksi nasional untuk BSC. Pendampingan masyarakat ini merupakan bagian dari proyek GEF/FAO "Memfasilitasi kerja sama lintas batas untuk pengelolaan laut Indonesia yang berkelanjutan (proyek ISLME)".
Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP Muhammad Zaini bertemu dengan Kepala Perwakilan FAO untuk Indonesia Rajendra Aryal di Cirebon pada hari Kamis (14/1) untuk meningkatkan kolaborasi dan koordinasi dalam rangka mendukung pengelolaan perikanan yang lebih baik di Indonesia.
"Melalui kegiatan ini, KKP memfasilitasi nelayan untuk mendapatkan dokumen dan perizinan yang diperlukan. Kami juga melatih dan memotivasi mereka untuk menggunakan e-logbook dalam melaporkan aktivitas penangkapan ikan dan hasil tangkapan mereka untuk memastikan ketertelusuran dalam perikanan BSC," kata Zaini.
Rajendra melakukan kunjungan lapangan untuk menyaksikan kegiatan dukungan GEF/FAO ISLME dalam pendampingan masyarakat bagi para nelayan untuk mendaftarkan kapal dan alat tangkap mereka dan mematuhi peraturan yang berlaku. Dengan adanya registrasi, pemerintah dapat memperoleh data yang lebih akurat. Kegiatan ini mendorong peningkatan kepatuhan nelayan, terutama nelayan kecil, terhadap standar perizinan usaha kelautan dan perikanan yang berlaku, seperti Nomor Induk Berusaha (NIB) dan Tanda Daftar Kapal Perikanan (TDKP), serta membantu nelayan mengaktifkan aplikasi e-logbook untuk pelaporan penangkapan ikan.
"FAO akan terus mendukung KKP dalam mengimplementasikan pendekatan ekosistem untuk pengelolaan perikanan (ecosystem approach for fisheries management atau EAFM). Peningkatan pengawasan, pelaporan dan kepatuhan terhadap peraturan yang berlaku adalah kunci untuk perikanan rajungan yang berkelanjutan," kata Aryal, Perwakilan FAO di Indonesia.
FAO dan KKP menyatakan komitmen yang kuat untuk meningkatkan kolaborasi dan koordinasi untuk memastikan pengelolaan perikanan yang berkelanjutan, termasuk BSC untuk kesejahteraan nelayan yang lebih baik, ketahanan pangan, dan pembangunan ekonomi provinsi dan nasional.