Sekolah Lapang Iklim membawa perubahan besar di Kalimantan Barat, Indonesia, wilayah yang sebelumnya rentan terhadap gagal panen akibat perubahan iklim. Dengan membekali para petani dengan pengetahuan tentang pola banjir dan pasang surut, program ini berhasil memastikan tidak ada satu pun panen yang gagal pada tahun 2023.
Mempawah, sebuah kota di Provinsi Kalimantan Barat yang dikelilingi oleh aliran sungai dan lahan subur, berada di garis depan perubahan iklim. Di wilayah ini, mayoritas petaninya adalah perempuan yang juga menjalankan berbagai peran lainnya di luar mengelola lahan, sementara suami mereka bekerja untuk menghidupi keluarga.
Seperti banyak perempuan lainnya di komunitas ini, Meilani (39 tahun) adalah seorang petani padi, ibu rumah tangga, dan ibu dari tiga anak.
“Tidak mudah. Dua tahun terakhir kami sering dilanda banjir yang menyebabkan gagal panen. Kami juga menghadapi serangan hama seperti keong dan tikus. Banyak sekali tantangannya,” ungkap Meilani.
Tahun lalu, hujan deras yang tidak terduga dan pasang yang bertepatan dengan musim panen, sehingga menyebabkan seluruh tanaman Meilani gagal dipanen. Karena kehilangan pendapatan, ia terpaksa membeli beras dari pasar untuk kebutuhan sehari-hari, yang semakin membebani kondisi keuangannya yang sudah terbatas.
Caption: Sungai mengalir di depan rumah-rumah, dan permukaan air di Mempawah mudah meluap.
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional memperingatkan bahwa perubahan iklim mengancam sektor pertanian di Kalimantan Barat, berpotensi menurunkan produksi padi dan mengganggu perekonomian lokal, yang merupakan sumber penghidupan utama bagi masyarakat. Sebanyak sepuluh kota/kabupaten di provinsi ini telah ditetapkan sebagai “Prioritas Utama” yang membutuhkan penanganan segera. Banjir telah merendam 10.464 hektare lahan pertanian dan membawa dampak serius bagi petani seperti Meilani.
Pemberdayaan Petani melalui Program Sekolah Lapang Iklim
Program Sekolah Lapang Iklim yang diprakarsai oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) di Kalimantan Barat telah membawa perubahan besar pada praktik pertanian lokal.
“Sangat membantu sekali bagi kami,” ujar Meilani, mewakili suara para petani lainnya.
Sebelumnya, mereka mengelola lahan tanpa pemahaman yang cukup tentang dampak perubahan iklim. Namun, mereka kini telah mahir membaca prakiraan cuaca dan menyesuaikan teknik bertani mereka. Pengetahuan baru ini sangat penting. Meilani menambahkan, “Sekarang saya bisa memprediksi banjir dan pasang, makanya tahun ini tidak ada gagal panen.”
Program ini menawarkan kurikulum yang komprehensif dan disesuaikan dengan tantangan pertanian setempat, sehingga petani dapat belajar untuk beradaptasi dengan variabilitas iklim. Di luar pelatihan kelas, program ini juga memberikan dukungan melalui penyuluh pertanian dan memanfaatkan WhatsApp untuk menyampaikan informasi cuaca dan saran pertanian secara real-time. Dengan demikian, petani seperti Meilani selalu mendapatkan pendampingan dalam menghadapi tantangan.
Caption: Syahminar, ketua kelompok tani menjelaskan bagaimana kelompoknya meningkatkan pengetahuan tentang pertanian dan iklim. Kelompoknya adalah yang paling sukses di antara peserta Sekolah Lapang Iklim.
Pada tahun 2023, WFP dan Stasiun Klimatologi Kalimantan Barat mengadakan lokakarya untuk mengembangkan mekanisme aksi antisipatif terhadap perubahan iklim dan ketahanan pangan. Stasiun Klimatologi Kalimantan Barat juga sedang mengembangkan produk Flood Modelling for Agriculture Area untuk memprediksi banjir dan kekeringan. Dengan menyampaikan pesan peringatan dini yang disesuaikan untuk komunitas lokal, mereka memastikan komunikasi yang efektif sebelum bencana iklim terjadi. Kajian Sekolah Lapang Iklim yang dihubungkan dengan implementasi aksi antisipatif ini menjadi langkah awal menuju hasil yang berdampak nyata.
Melampaui Batas Wilayah dan Mendorong Kolaborasi
Konsultasi publik yang melibatkan kementerian terkait, akademisi, dan para ahli telah merevisi kurikulum Sekolah Lapang Iklim, membahas solusi inovatif, dan memperkenalkan desain awal produk baru. Konsultasi ini bertujuan untuk mendapatkan masukan terkait perhitungan kerugian ekonomi, meningkatkan komunikasi antara petani dan pemerintah, serta menjawab kebutuhan spesifik petani. Kurikulum yang diperbarui kini mencakup perspektif gender dan modul baru tentang aksi antisipatif serta advokasi untuk mencegah gagal panen seperti yang dialami Meilani.
Caption: Seorang petani dari desa Mulia Jaya menyampaikan kepada tim WFP bahwa gagal panen telah berulang kali terjadi pada musim tanam tahun ini. Upayanya dan petani lain untuk mengeringkan air dan memperbaiki pintu air gagal, karena kurangnya pemahaman tentang pola iklim dan mekanisme pendanaan pemerintah.
Solusi inovatif seperti Program Sekolah Lapang Iklim dan Flood Modelling for AgricultureArea berperan penting dalam mengatasi tantangan yang dihadapi petani. Dengan membekali masyarakat dengan pengetahuan tentang pola iklim dan sistem peringatan dini, WFP bersama pemerintah dan mitra mengambil langkah proaktif untuk mengurangi dampak perubahan iklim terhadap sektor pertanian. Keterlibatan aktif para pemangku kepentingan, seperti yang terlihat dalam lokakarya konsultasi publik dan pembaruan kurikulum Sekolah Lapang Iklim, memastikan bahwa solusi yang dihasilkan benar-benar sesuai dengan kebutuhan komunitas. Saat Kalimantan Barat melangkah ke depan, inisiatif-inisiatif ini akan melindungi mata pencaharian masyarakat dan mendukung keberlanjutan ekonomi lokal.
WFP mengucapkan terima kasih kepada Pemerintah Australia dan Departemen Luar Negeri dan Perdagangan (DFAT) atas dukungan yang telah diberikan.