Terima Kasih Terlambat yang Saya Harap Sekarang Telah Sampai
--
Oleh: Rani Salsabila Efendi
Sebagai salah satu anak korban Tsunami Aceh tahun 2004, kenangan buruk ini masih membekas.
Suara orang berteriak ketakutan dan teror; suara ombak besar menghantam gedung-gedung dan rumah-rumah hingga hancur menjadi puing-puing, yang saya ingat hanyalah “semuanya hancur”. Namun di tengah semua ini, PBB berkomitmen untuk membantu kita pulih dengan lebih baik dan lebih kuat.
Saya hanyalah seorang anak perempuan berusia 4 tahun ketika semua itu terjadi. Saya berpegangan pada pohon jambu air untuk bertahan hidup, meneriakkan nama Tuhan. Saya kemudian mendengar orang-orang berteriak “Ie ka I troeen, I ka I troeen,” yang artinya air sudah turun – air sudah turun. Saya tidak dapat memahami apa yang baru saja terjadi. Tapi melihat begitu banyak orang dalam posisi sujud, saya pikir itu pertanda baik. Tapi semuanya tidak seperti yang terlihat.
Kiri dan kanan, semua orang meneteskan air mata, dan tidak ada satu pun jiwa kebahagiaan yang ditemukan. Mungkin inilah yang disebut kesedihan. Kami kehilangan rumah, harta benda, dan rasa aman. Tidak ada yang berani pulang ke rumah karena lapangan terasa lebih aman.
Hampir semuanya hancur, termasuk helikopter ini, yang bernasib sama seperti kami. Hancur dan tidak dapat berfungsi seperti sebelumnya. Rasa trauma dan ketakutan ini, saya yakin, masih dirasakan oleh semua orang yang pernah mengalami Tsunami Aceh.
Pengetahuan tentang risiko dan ketahanan bencana adalah sesuatu yang tidak pernah kami, masyarakat Aceh, dapatkan. Namun besarnya bencana yang terjadi telah membuka mata kita dan mengingatkan kita betapa pentingnya mitigasi bencana. Di sinilah PBB turun tangan dan dengan cepat membantu kita untuk bangkit dan pulih secara perlahan.
Program Pembangan PBB (UNDP) membantu rehabilitasi sarana dan prasarana agar kita mudah ditemukan dan ditemukan oleh keluarga kita. Baik melalui pencarian anggota keluarga yang hilang akibat tsunami, atau rekonsiliasi keluarga yang terpaksa mengungsi, UNDP memberikan dukungan segera kepada masyarakat Aceh dalam menanggapi krisis ini.
Kebijakan pengurangan dan pengelolaan risiko bencana mulai direalisasikan oleh PBB. Secara khusus, melalui Kantor Pengurangan Risiko Bencana Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDRR), PBB terus melakukan banyak perubahan dan menginformasikan strategi implementasi yang lebih baik mengenai pengurangan dan manajemen risiko bencana.
Banyak negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa juga berpartisipasi dan bekerja sama untuk membantu Aceh, bersama dengan banyak relawan yang tinggal di Aceh sampai kami pulih dan cukup kuat untuk bangkit kembali. Melalui kebaikan merekalah yang memberikan rasa harapan kepada masyarakat Aceh agar semuanya baik-baik saja.
Relawan Medis PBB (Dokter)
Meskipun saya mungkin tidak tahu nama mereka, saya masih ingat betul semua saudara dan saudari yang baik hati yang menjaga kesehatan kami dan mengundang kami bermain di kamp pengungsi. Mereka melakukan yang terbaik untuk menyemangati kami dan mengembalikan tawa di komunitas kami. Saya juga ingat para petugas kesehatan yang membantu merawat kaki kecil kami yang pernah tertimpa reruntuhan bangunan. Andai saja saya diberi kesempatan untuk mengungkapkan rasa terima kasih saya.
Saat itu, salah satu relawan kesehatan menanyakan cita-cita saya jika besar nanti. Saya berkata, “Saya ingin menjadi dokter! Saya ingin membantu orang lain seperti Anda.” Siapa sangka keinginan saya terkabul karena saya berhasil masuk Fakultas Kedokteran tidak lama kemudian
Aceh telah membangun monumen di Ruang Terbuka Hijau sebagai simbol 'terima kasih' kepada dunia atas bantuan yang diberikan kepada masyarakat Aceh selama rehabilitasi dan rekonstruksi pasca Tsunami. Kata “Terima Kasih” terukir dalam lebih dari 53 bahasa pada miniatur perahu yang mengapit Blang Padang, dan kalimat “Aceh Berterima Kasih kepada Dunia” menyambut pengunjung di pintu masuk lokasi.
Kontribusi PBB dalam membantu Aceh telah membawa banyak hal baik yang perlahan dapat dirasakan oleh masyarakat Aceh. Motto Build, Back, Better memang benar adanya. Nelayan berani kembali melaut, anak-anak akhirnya kembali bersekolah, pantai bersih dan terbuka untuk umum, serta wisatawan kembali ke Aceh.
Meskipun masih ada rasa trauma akibat Tsunami, masyarakat mulai kembali beraktivitas. Sistem mitigasi dan jalur evakuasi telah dikembangkan. Masyarakat juga sudah mulai waspada dan berpartisipasi aktif dalam upaya mitigasi risiko bencana. Banyak dari program-program pasca-tsunami yang memberikan kontribusi besar terhadap pembangunan Aceh.
Melalui program tersebut, nelayan dan masyarakat pesisir dibekali dengan keterampilan dan pengetahuan dasar untuk mitigasi bencana. Anak-anak juga dididik tentang tanda-tanda peringatan dini bencana alam untuk mencegah potensi bahaya. Indah sekali bukan? Betapa besarnya uluran tangan dapat membantu Aceh pulih dan membawa perubahan.
Melalui tulisan ini, kami masyarakat Aceh ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada PBB yang telah membantu Aceh dan rakyatnya melewati masa-masa sulit.
***