Terima Kasih PBB, Karena Telah Membantu Saya Menemukan Diri Saya Sendiri
--
Oleh: Irene Bougenville Martin
Ketika mendengar nama “Perserikatan Bangsa-Bangsa”, beberapa hal pertama yang terlintas di pikiran adalah sesuatu yang besar dan bergengsi. Itulah yang saya rasakan tentang organisasi tersebut ketika saya masih kecil. Namun, PBB tidak jauh dari jangkauan seperti yang saya kira. Organisasi ini telah memberi saya kesempatan untuk mengikuti program-program yang membantu saya menemukan tujuan hidup dan membuat saya bercita-cita menjadi bagian dari PBB.
Perjalanan saya dimulai ketika saya menjadi sukarelawan di Federasi Mahasiswa Farmasi Internasional (IPSF) ketika saya masih kuliah. Saya mendapat kesempatan untuk membangun kemitraan dengan beberapa badan khusus PBB seperti WHO, UNEP, dan UN OCHA, untuk memperkuat advokasi kemanusiaan/ kesehatan masyarakat IPSF. Saya terpilih untuk mewawancarai pembicara dari UNEP dan UN OCHA untuk Hari Bumi Sedunia, dan disinilah saya mulai mengembangkan keinginan untuk belajar lebih banyak tentang masalah sosial dan mengadvokasi isu-isu tersebut.
Ketika saya mengambil cuti satu tahun karena mengalami sindrom iritasi usus yang disebabkan oleh depresi kronis, saya memutuskan untuk memanfaatkan waktu luang saya untuk merenungkan diri dan meningkatkan kapasitas diri. Oleh karena itu, saya menjadi delegasi IPSF untuk UNAIDS High-Level Meeting (HLM), World Health Assembly (WHA) dan United Nations High Level Political Forum (UN HLPF) selama pandemi. Sepanjang perjalanan ini, saya telah dipertemukan dengan banyak orang yang berpikiran serupa, berbicara dengan mereka dan membangun jaringan untuk kolaborasi potensial.
Pengalaman saya mengikuti konferensi UN HLPF
Dari semua hal yang telah kita diskusikan, satu topik yang sangat menarik perhatian saya adalah mengenai hak dan kesehatan seksual dan reproduksi sebagai kunci pencegahan kekerasan berbasis gender (KBG). Khususnya, melalui Konferensi HLM UNAIDS, saya dapat belajar banyak dari cerita-cerita anggota kelompok marjinal dan mengenal mereka lebih baik. Rasa keterhubungan dan kepedulian saya terhadap mereka dan isu tersebut datang dari pengalaman pribadi saya sebagai penyintas bullying dan pelecehan seksual. Namun, karena kurangnya pendidikan seksual komprehensif (CSE) di keluarga dan komunitas sekitar, saya tidak menyadari bahwa saya adalah korban.
Pendidikan seks masih dianggap tabu untuk dibicarakan dalam budaya kita. Mungkin inilah alasan mengapa orang-orang cenderung mengabaikan dan meremehkan usaha saya ketika saya mencoba untuk menyuarakan keresahan isu tersebut. Bahkan, mereka mengatakan bahwa saya sebaiknya menikah saja dan membantu orang tua saya sebagai ibu rumah tangga. Namun, melalui diskusi yang saya ikuti di konferensi PBB, saya ditunjukkan betapa besar dan penuh peluang dunia ini. Bahwa anak perempuan tidak harus terkungkung dalam stereotip dan kita bisa menjadi apapun yang kita inginkan.
Konferensi tersebut membuat saya menyadari bagaimana topik seks selalu disembunyikan dari perempuan karena cenderung dianggap sebagai obrolan laki-laki. Hal ini merupakan akar penyebab dari kehamilan yang tidak diinginkan atau infeksi menular seksual. Saya juga menyadari bagaimana perempuan diharapkan untuk mengikuti alih-alih memimpin. Hal ini membuat mereka sulit berkata “tidak”, termasuk dalam hubungan intim tanpa persetujuan.
Karena itu, saya merasakan adanya keperluan untuk menerapkan pendidikan seksual komprehensif di sekolah dan perguruan tinggi untuk memberdayakan perempuan dan gadis muda untuk membuat keputusan mandiri dan memiliki otonomi tubuh. Selain itu, saya juga merasakan akan pentingnya menyebarkan rasa semangat advokasi kepada pemuda di sekitar karena saya yakin bahwa kita adalah masa depan bangsa.
Topik lain yang menarik perhatian saya adalah akses ke pelayanan perawatan kesehatan mental. Sejak SMA, saya sering mengalami anxiety attack, atau serangan kecemasan. Namun dikarenakan adanya stigma seputar kesehatan mental, saya tidak pernah mendapat kesempatan untuk konsultasi ke psikolog dan menerima perawatan khusus yang saya butuhkan. Akan tetapi, pengalaman saya saat menghadiri WHA telah meningkatkan pengetahuan saya tentang determinan sosial kesehatan, bagaimana faktor-faktor tersebut dapat berkontribusi kepada akses pelayanan kesehatan yang tidak merata, serta bagaimana apoteker dapat berperan dalam menyediakan pengobatan lini pertama dan Pelayanan yang berpusat pada pasien.
Pengalaman saya menjadi delegasi WHA
Melalui UN HLPF, saya juga mempelajari bagaimana perubahan iklim dapat memperburuk isu-isu tersebut. Mulai dari bencana alam yang merusak fasilitas WASH dan menyebabkan penyakit menular, hingga perempuan yang terpaksa kehilangan hak pendidikan dan pekerjaan karena harus berjalan kaki setiap harinya untuk membawa dan menyediakan air bersih. Semua ini mendorong saya untuk mengadvokasi ketidakadilan iklim dengan lebih kuat, terutama karena upaya deforestasi yang sering terjadi di kampung halaman saya Kalimantan, di mana hutan ditebang untuk perluasan lahan perkebunan kelapa sawit. Hal ini juga dapat memperburuk masalah kemiskinan, kekerasan berbasis gender, serta kurangnya resiliensi dalam komunitas kami.
Semua program yang dipimpin oleh PBB ini telah membantu saya mengatasi trauma dan memperluas perspektif saya mengenai isu-isu sosial dan lingkungan. Kesempatan ini juga membuat saya terus berpikir, jika saja saya memiliki akses ke informasi-informasi tersebut lebih awal, saya diselematkan dari apa yang menimpa saya. Namun, saya tidak bisa terus di tinggal di masa lalu. Oleh karena itu, saya memutuskan untuk mendedikasikan hidup saya untuk membantu orang lain dan melayani kelompok rentan, terutama perempuan dan anak perempuan.
Saya mulai aktif di kegiatan advokasi dengan cara membuat konten di Instagram untuk meningkatkan kesadaran tentang masalah kesehatan mental dan pemberdayaan perempuan. Saya juga menggunakan akun saya untuk berbagi informasi mengenai isu-isu yang menurut saya penting disadari oleh kaum muda dan dapat mengambil aksi atasnya seperti perubahan iklim, ketidaksetaraan gender dan sejenisnya. Saat ini, saya bekerja part-time di sebuah lembaga swadaya masyarakat yang fokus dengan memberikan dukungan psikologis dan hukum kepada korban perundungan dan kekerasan berbasis gender.
Bagaimana PBB membentuk diri saya hari ini
Saya tidak akan menjadi seperti sekarang ini, penuh dengan percaya diri dan hidup dengan tujuan, jika bukan karena kesempatan yang diberikan PBB kepada saya dan tokoh-tokoh inspiratif yang saya temui selama ini. Termotivasi oleh semangat mereka, saya ingin mengejar gelar Master di bidang Kesehatan Masyarakat, gelar PhD dalam Studi Gender, dan karir di UNFPA dimana saya berharap dapat berkontribusi kepada masyarakat melalui pekerjaan saya.
Suatu hari nanti, saya berharap dapat memberi kembali ke negara saya dengan bercita-cita sebagai Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), dimana saya ingin memberi perlindungan dan mengembangkan kebijakan yang dapat melindungi korban KBG dengan lebih baik, menerapkan CSE ke dalam kurikulum sekolah, dan memberdayakan perempuan untuk mengejar dan memajukan karir mereka seperti yang mereka impikan. Sebagai seorang wanita muda Tionghoa-Indonesia, satu hal yang saya telah pelajari dari PBB adalah menjadi minoritas bukanlah sebuah kerugian. Melainkan hal itu harus dilihat sebagai dasar bagaimana saya dapat berhubung dengan komunitas marjinal lainnya dan memanfaatkan keterampilan dan pengetahuan yang saya peroleh untuk melayani orang lain.