Kemiri, cabai dan ayam: PBB memfasilitasi transformasi ekonomi pedesaan di Indonesia Timur
--
INEGENA, PULAU FLORES, INDONESIA – Wilfridus Ngala memiliki visi – untuk mengubah desanya yang berpenduduk 1100 orang, dimana kebanyakan dari mereka adalah petani subsiten, menjadi pusat kekuatan pertanian dengan industri pengolahan dan ekspor makanannya sendiri. Kedengarannya tidak masuk akal? Tidak. Baru setahun mendapat dukungan dari Dana International untuk Pengembangan Agrikultural (IFAD) dan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, tanda-tanda kemajuan masyarakat di tengah perbukitan Pulau Flores ini terlihat jelas: tanah yang dulunya tandus diubah menjadi ladang hortikultura, dan ayam berkotek di sepanjang jalan desa yang sebelumnya tenang.
“Desa kami sekarang memiliki masa depan dan banyak anak muda memutuskan untuk tetap tinggal dan berpartisipasi dalam proyek pertanian baru,” kata Viktorinus Roja, 30 tahun, yang belajar beternak ayam tahun lalu dan telah terpilih menjadi ketua asosiasi usaha desa yang dikenal dengan akronim BUMDES. “Setahun yang lalu saya berpikir untuk pindah mencari pekerjaan di kota. Tapi saya telah memutuskan untuk memberikan kesempatan kepada Walikota Ngala.”
Membangun keberhasilan ekonomi dalam jangka panjang
Inegena adalah salah satu dari 1110 desa di Indonesia yang didukung melalui Program Transformasi Ekonomi Desa Terpadu (TEKAD) IFAD, yang menepatkan peningkatan tata kelola dan keterlibatan masyarakat dalam penggunaan sumber daya desa untuk pembangunan ekonomi dan sosial lokal di jantung perencanaan. Dalam kasus Inegena dan 19 desa lainnya di kabupaten Ngada di Pulau Flores, mereka membantu penduduk desa merancang rencana bisnis dan strategi pembangunan jangka panjang, dan mengajukan permohonan pendanaan ke Dana Desa nasional senilai Rp 68 miliar (US$ 4,3 miliar), dikelola oleh Kementerian Desa. TEKAD telah mempekerjakan tim ahli yang bekerja dengan penduduk desa. Pendanaan sebagian besar tidak berasal dari hibah tetapi pinjaman yang harus dibayar kembali oleh pemerintah dan desa dari hasil peningkatan kegiatan ekonomi.
“Sering sekali di pedesaan Indonesia, uang bukanlah masalahnya. Namun perencanaan yang berwawasan untuk membangun dasar keberhasilan ekonomi jangka panjang adalah masalahnya,” kata Harlina Sulistroyini, Direktur Jenderal Pengembangan Ekonomi dan Investasi Kementerian Desa. “Tempat-tempat seperti Inegena adalah bukti dari apa yang dapat dicapai bersama oleh pendanaan kecil dan ide-ide besar.”
Kuncinya, Ibu Sulistroyini menambahkan, adalah untuk masyarakat fokus pada satu produk yang memiliki keunggulan ekonomi dan pasar. Dalam kasus Inegena, penduduk desa dengan dukungan TEKAD menyusun rencana bisnis untuk meningkatkan panen dan memulai pengolahan kemiri lokal, komoditas utama desa dan tanaman komersial masa depan. Sampai saat ini, setiap petani memanen kacang, membersihkannya secara manual dan membawanya ke pasar lokal. Sebagai langkah pertama dalam proses transformasi, mereka sekarang bekerja sama untuk mendapatkan penawaran yang lebih baik dari pembeli. Sama pentingnya, penduduk desa tidak perlu lagi melakukan perjalanan satu jam ke kota dan menghabiskan waktu untuk menjual produk mereka – pembeli kini bisa datang ke desa.
Minyak yang diekstraksi dari biji kemiri, yang rasanya sedikit mirip dengan kenari tetapi lebih lembut di langit-langit mulut, digunakan dalam industri kosmetik dan farmasi sebagai bahan baku.
Kementerian akan mendukung pembelian mesin untuk menggantikan tenaga kerja manual yang sekarang dibutuhkan untuk mengupas kacang, dan juga akan menyediakan dana bagi desa untuk membeli mesin untuk mengekstrak minyak kacang, kata Ibu Sulistroyini.
Dengan menjual minyak daripada kacang akan memungkinkan desa mendapatkan lebih banyak pendapatan dari rantai nilai kemiri. “Kami ingin mendukung desa dengan visi dan potensi,” tambahnya. “Inegena adalah sebuah desa kecil tetapi suatu hari nanti akan menjadi internasional – selama mereka tetap fokus.”
Setelah penduduk desa memiliki mesin ekstraksi minyak, yang direncanakan pada akhir 2023, mereka juga akan dapat memproses kemiri yang dipanen di desa tetangga, kata Ngala. “Kami berencana untuk menjadi pusat lokal.”
Meningkatkan produksi, mencari pasar
Walau fokus dalam rencana transformasi ekonomi desa adalah pada kemiri, ada produk lain yang dilihat potensinya oleh penduduk lokal: mereka menggunakan Rp 152 juta (US$ 9600) dari Dana Desa untuk meningkatkan area budidaya di sekitar desa sebesar 50%. Sawah yang dulunya dipenuhi semak belukar telah diubah menjadi perkebunan hortikultura. Sebagian besar cabai, terong, dan kubis yang ditanam dijual di pasar lokal.
Petani Bonevasius Redo telah berhasil memperluas rumah bambunya dari penghasilan tambahan yang diperolehnya selama musim tanam yang lalu. Berkat kesempatan baru di rumah, dia pindah kembali ke Inegana setelah bertahun-tahun bekerja di perkebunan kelapa sawit di Kalimantan. Penghasilannya sekarang sekitar Rp 5 juta per bulan (US$ 320), dibandingkan dengan hanya Rp 3 juta (US$ 190) di perkebunan. “Sekarang kami bisa menjalani hidup di sini dengan menanam sayuran dan cabai,” katanya.
Ayam dan ketahanan pangan
Tujuan dari skema ayam, yang meyakinkan Bapak Roja untuk tidak pindah ke kota, adalah untuk meningkatkan ketahanan pangan dan gizi dengan memberikan asupan protein yang stabil kepada masyarakat – serta pendapatan dari penjualan surplus. Sekarang ada 2400 ekor ayam di desa itu, naik dari beberapa ratus dua tahun lalu.
Tujuan TEKAD adalah memberikan dukungan transformasi ekonomi kepada desa-desa yang berkepentingan di lima provinsi termiskin di Indonesia, termasuk Nusa Tenggara Timur, tempat Inegena berada. Melalui perekrutan dan pelatihan fasilitator lokal untuk bekerja dengan penduduk desa, ini memastikan bahwa ada dukungan dari masyarakat terhadap perencanaan jangka panjang. “Untuk menciptakan fondasi bagi pembangunan yang berkelanjutan, desa perlu memberlanjakan uang untuk proyek-proyek yang akan memiliki manfaat ekonomi jangka panjang, daripada hanya membelanjakan uang Dana Desa setiap tahun untuk prakarsa ad hoc,” kata Anissa Pratiwi, National Programme Officer di IFAD Jakarta. “Perubahan mendasar dalam pendekatan ini membutuhkan pembelajaran dan peningkatan kapasitas di tingkat desa.”
Perubahan tersebut sangat diperlukan, karena saat ini hanya 10% Dana Desa yang digunakan untuk mendukung pembangunan ekonomi pedesaan. TEKAD membantu mengubahnya dengan meningkatkan keterampilan teknis dan informasi pasar yang tersedia untuk desa, bersama dengan bimbingan dan pengawasan dalam perencanaan dan pelaksanaan proyek. Desa-desa tempatnya bekerja memiliki populasi gabungan lebih dari 1,6 juta – menjadikannya salah satu proyek PBB dengan jangkauan terbesar di Indonesia.
TEKAD didanai Bersama oleh IFAD dan pemerintah, dengan pemerintah yang memimpin pelaksanaannya. “Kami menggunakan TEKAD tidak hanya untuk membantu desa-desa yang berpartisipasi berkembang, tetapi juga untuk menunjukkan kepada masyarakat lain di wilayah ini sebagai contoh pembangunan ekonomi jangka panjang dan berkelanjutan,” kata Ibu Sulistroyini.