Mendobrak Tabu: Petugas Kesehatan di Papua Mengeksplor Metode Baru dalam Menjangkau dan Mendorong Anak Muda untuk Tes HIV
-
Bahkan satu dekade kemudian, Maria Jeklin Maker tidak yakin dengan keadaan yang menyebabkan kematian sepupunya. Beberapa keterangan yang diterima Maria, yang berusia 16 tahun, berasal dari bibinya: sepupunya terpapar HIV, virus yang menyebabkan AIDS, dan orang-orang di sekitar mereka menghindarinya karena takut tertular.
Sebagai seorang perawat magang, Maria, yang kini berusia 26 tahun, tahu betapa salah kaprahnya ketakutan orang-orang itu. Ia sadar bahwa ia akan segera menjadi perawat yang tugasnya memberikan informasi yang akurat kepada pasien tentang HIV. Namun, ketika harus mengetahui statusnya sendiri, pengalaman itu membuatnya ragu: "Pengetahuan tentang HIV masih sangat minim, stigma dan diskriminasi masih tinggi di Papua."
Meskipun obat-obatan antiretroviral telah tersedia secara luas dan memungkinkan Orang Dengan HIV AIDS (ODHA) untuk menikmati hidup yang panjang dan sehat, diperkirakan 26.000 orang meninggal karena AIDS di Indonesia pada tahun 2022. Di Papua, wilayah paling timur Indonesia, prevalensi HIV hampir 7 kali lipat dari rata-rata nasional, menurut perkiraan Kementerian Kesehatan pada tahun 2022. Data Kementerian Kesehatan juga mengungkapkan bahwa sekitar 48% orang yang hidup dengan HIV di Pulau Papua bagian Indonesia tidak menyadari bahwa mereka telah tertular virus tersebut.
Dengan hampir separuh infeksi HIV baru di Indonesia terjadi di kalangan usia 15-24 tahun, jaringan masyarakat sipil Inti Muda, dengan dukungan UNAIDS, melawan ketidaktahuan, diskriminasi, dan stigma yang menghalangi anak muda untuk mengakses layanan tes, pengobatan, dan dukungan HIV. Hal ini dimulai dengan membuat layanan kesehatan yang lebih ramah terhadap anak muda dan "populasi kunci", sebuah sebutan yang merujuk pada komunitas yang paling rentan terhadap HIV.
"Anak muda masih menghadapi banyak tantangan yang menghalangi mereka untuk mengakses layanan kesehatan yang mereka butuhkan untuk dapat menyelamatkan nyawa mereka," ujar Krittayawan Boonto, Direktur UNAIDS untuk Indonesia. Organisasi seperti Inti Muda, katanya, membantu membekali mereka untuk "mengambil kendali atas penanggulangan HIV dan terlibat langsung dalam menciptakan ruang yang aman, di mana anak muda dapat mengakses layanan HIV yang bebas dari stigma dan diskriminasi."
Stigma dan diskriminasi merupakan salah satu faktor utama yang menyebabkan rendahnya kemauan anak muda di provinsi seperti Papua Barat untuk mengakses layanan terkait HIV, demikian menurut sebuah penelitian yang dilakukan oleh Inti Muda dan Universitas Padjadjaran baru-baru ini. Para responden menyebutkan beberapa faktor penghambat antara lain adalah jam buka yang tidak nyaman dan lokasi klinik dan rumah sakit yang terpencil, kekhawatiran akan kerahasiaan dan privasi, serta sikap menghakimi dari petugas kesehatan terkait isu-isu seperti orientasi seksual, identitas gender, dan kesehatan mental.
“We are limited by which clinics we can access because many, if not most, are not youth-friendly,” said Sepi Maulana Ardiansyah, Inti Muda’s former national coordinator. “If the services are bad, young people won’t use them and they will tell other young people not to use them,” he added
"Kami dibatasi oleh klinik mana yang bisa kami akses karena banyak, bahkan sebagian besar, yang tidak ramah anak muda," ujar Sepi Maulana Ardiansyah, mantan koordinator nasional Inti Muda. "Jika layanannya buruk, anak muda tidak akan mengakses layanannya, lalu mereka akan memberi tahu temannya yang lain untuk tidak menggunakannya," tambahnya.
Temuan dari studi Inti Muda dan Universitas Padjadjaran tentang sikap kaum muda terhadap layanan HIV di Papua menjadi salah satu informasi yang dibagikan kepada lebih dari 50 petugas kesehatan dalam sesi pelatihan yang didukung oleh UNAIDS yang diselenggarakan di Sentani dan Jayapura, Papua Barat, pada tahun 2022.
Hilda Rumboy, seorang bidan yang bertanggung jawab atas Departemen Layanan HIV di Puskesmas Waibu, Kabupaten Jayapura, Papua, mengatakan bahwa sesi ini membantunya memahami beragam kebutuhan anak muda dan akan, "memungkinkan kami untuk meningkatkan layanan kami untuk menjadi ramah terhadap anak muda, yang sekarang adalah prioritas utama kami."
Setahun setelah pelatihan, banyak anak muda merasa nyaman menggunakan layanan di Puskesmas Waibu, yang stafnya ramah dan memperlakukan semua pasien dengan setara, menurut Inti Muda. Di antara peningkatan layanan lainnya, pasien sekarang dapat mengakses janji temu terkait layanan HIV di luar jam operasional puskesmas, yaitu pukul 08.00-14.00.
Sejalan dengan upaya untuk meningkatkan kepekaan petugas kesehatan di wilayah ini terhadap kebutuhan anak muda, Inti Muda menyelenggarakan festival untuk meningkatkan permintaan layanan HIV dan melibatkan anak muda secara langsung dalam penanggulangan HIV, seperti halnya pelatihan untuk petugas kesehatan yang didukung oleh Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia. Di antara lebih dari 80 peserta yang hadir, ada Maria, seorang perawat yang sedang mengikuti pelatihan, yang mengatakan bahwa pertama kalinya ia mendengar tentang kemanjuran obat antiretroviral di festival tersebut telah memberinya kepercayaan diri untuk melakukan tes.
Setelah dinyatakan negatif, ia mengatakan bahwa ia terinspirasi untuk melawan informasi yang salah tentang HIV dan mendorong teman-temannya untuk mengetahui status mereka. "Jangan takut, karena kita sudah memiliki obat untuk tetap sehat," katanya, seraya menambahkan bahwa hasil tes positif "bukanlah akhir dari segalanya."
Joseph Hincks