Terorisme Kimia: Indonesia menguji responsnya terhadap ancaman kimia
----
Semarang (Indonesia), 18 Maret 2024 - Pada hari yang tampaknya biasa di Semarang, beberapa penumpang kereta mulai merasa mual. Penumpang lain di sekitarnya berkata mereka tidak bisa bernapas. Lima orang kehilangan kesadaran. Satu orang tidak merespons. Beberapa menit kemudian, sebuah mobil mini melintas di dekat mereka, diikuti oleh sekelompok orang yang mengenakan pakaian oranye seperti astronot. Mereka mencari bom.
Inilah bagaimana latihan simulasi serangan teroris kimia.
“Serangan terorisme kimia itu nyata,” kata Niki Esse de Lang, Koordinator kontraterorisme regional UNODC untuk Asia Tenggara dan Pasifik. “Untuk melawannya, kita membutuhkan respons yang solid dan terintergrasi dari semua aktor yang relevan.”
Indonesia sedang menguji kemampuannya dalam menanggapi ancaman-ancaman semacam itu melalui simulasi-simulasi, yang mempertemukan perwakilan dari lembaga-lembaga pemerintah dan sektor swasta. Sejauh ini, Dua simulasi telah diselenggarakan di Semarang dalam beberapa bulan terakhir, yang diselenggarakan bersama oleh Kantor PBB untuk Urusan Narkoba dan Kejahatan (UNODC) dan Badan National Penanggulangan Terorisme (BNPT), dengan dukungan dari Brimob-Polri.
Ancaman yang sangat nyata
Sejak tahun 2011, setidaknya delapan insiden terorisme kimia telah terjadi di Indonesia. Kelompok-kelompok teroris yang beroperasi secara international, termasuk Al-Qaeda dan Da’esh (yang juga dikenal sebagai ISIL) - telah menggunakan senjata kimia di Irak dan Suriah. Pada tahun 1995, senyawa kimia beracun sarin digunakan di kereta bawah tanah Tokyo, Jepang, oleh anggota gerakan Aum Shinrikyo, menewaskan 15 orang seketika dan melukai lebih dari seribu orang.
Bahan kimia yang sama yang digunakan dalam industri yang resmi, seperti pertambangan, pertanian, atau farmasi, juga dapat digunakan oleh teroris. Klorin, misalnya, yang biasa digunakan di fasilitas pengolahan air, juga dapat menghasilkan senjata kimia. Ancaman yang kompleks ini membutuhkan kerja sama yang kuat antara pemerintah dan sektor swasta tingkat nasional, regional, dan internasional.
Bersiap menghadapi ancaman
Di luar kereta api, lebih banyak orang dengan peralatan pelindung telah tiba. Tempat kejadian sangat sibuk: sebagian orang mendirikan area kontrol, sebagian lagi mendirikan stasiun dekontaminasi, dan sebagian lagi memberikan bantuan medis.
Beberapa orang membuka laptop taktis dan peralatan untuk mengukur udara dan permukaan yang berpotensi terkontaminasi, sementara yang lain menggambar perimeter di lantai - merah, kuning dan hijau, tergantung pada tingkat kontaminasi yang terdeteksi.
Sebuah mobil miniatur dengan sensor dan kamera beredar di mana-mana, mengambil sampel dan membantu para ahli di luar perimeter untuk menentukan tingkat toksisitas. Di dekatnya, sebuah tim yang mengenakan setelan kuning sedang disemprot oleh rekan-rekannya sebelum keluar dengan hati-hati dari setelan tebal.
Para responden ini berasal dari berbagai unit dan lembaga: polisi, militer, kontraterorisme, penjinak bom, forensik, medis, pemadam kebakaran, dan keamanan infrastruktur publik.
“Pelatihan ini diperlukan karena ancaman terorisme jenis ini,” kata Edi Suranta Sinulingga, Komandan Unit Kimia, Biologi, Radiologi dan Nuklir di bawah Brigade Mobil Gegana Kepolisian Republik Indonesia. “Semakin banyak kasus yang terjadi di Indonesia. Jadi semua pemangku kepentingan - tidak hanya aparat keamanan - harus mempersiapkan diri untuk mengantisipasi aksi terorisme semacam itu.”
Setiap kementerian, lembaga atau badan memiliki prosedur atau cara yang berbeda untuk menanggapinya. Selama lokakarya, para ahli mempelajari dan berbagi mengenai mandat, kerangka kerja, konsep operasi dan prosedur operasi standar, serta kapasitas teknis dan operasional yang dapat mereka manfaatkan.
"Tanggapan yang sangat terkoordinasi terhadap serangan yang begitu kompleks membutuhkan kolaborasi antar-lembaga yang kuat," kata Niels den Hollander, pakar pencegahan terorisme di UNODC. "Satu entitas saja tidak dapat melakukan hal ini."
Simulasi sebelumnya pada musim panas tahun lalu berlangsung di pesawat. Simulasi kali ini melibatkan elemen yang lebih kompleks, seperti pelaku fiktif dengan masker gas yang membawa senjata, bahan berbahaya yang mencurigakan, sandera di bandara, dan ledakan yang menghasilkan asap di lapangan latihan.
"Sebagai tenaga medis, pelatihan ini sangat berharga. Kami harus mematuhi protokol keselamatan yang ketat sebelum memasuki zona yang terkontaminasi untuk menolong para korban. Jika tidak, kita bisa menjadi korban. Dan apa yang terjadi jika tidak ada bantuan medis yang tersedia?" ujar salah satu responden dari Rumah Sakit Kariadi Semarang.
Sesi yang lebih khusus direncanakan akan diadakan pada tahun 2024. Sesi ini akan berfokus pada manajemen tempat kejadian perkara bagi para responden pertama untuk memastikan bahwa mereka mengetahui cara mencatat dan mengumpulkan bukti dari tempat kejadian dengan benar sehingga dapat diterima dalam proses pidana.
"Dengan menyatukan lembaga-lembaga ini dalam sebuah latihan, kami memfasilitasi sebuah proses di mana para ahli merasa nyaman untuk melakukan kesalahan, belajar dari kesalahan tersebut, mengidentifikasi kesenjangan, dan mengembangkan program untuk memperbaikinya," ujar Dimas Andianto, Programme officer di UNODC. "Lagipula, jauh lebih mudah untuk menghadapi dan belajar dari kesalahan dalam sebuah latihan daripada di kehidupan nyata."
Artikel ini telah dipublikasikan di laman situs United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) melalui link: Chemical terrorism: Indonesia tests its response to the threat (https://www.unodc.org/roseap/en/indonesia/2024/03/chemical-terrorism/story.html)