Bermain dengan kata-kata, di sebuah negeri imajinasi tanpa batas, menghadirkan sebuah tempat bagi anak-anak dimana tidak ada aturan berlaku dan tidak ada batasan. Namun, bagi sebagian anak yang hidup di tengah situasi yang sulit seperti Ali, seorang pengungsi asal Afghanistan berusia 13 tahun yang tinggal di Jakarta, tempat istimewa ini terkadang terasa terlalu jauh dicapai. Keluarganya menunggu selama 10 tahun agar dapat diterima oleh satu negara sebagai pengungsi. Mereka harus berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, dan kerumitan kehidupan sehari-harinya menyisakan sedikit waktu bagi dirinya untuk berkhayal, apalagi menulis.
Namun, simak cerita pendek Ali yang dibacakan dalam lokakarya tentang literasi inklusif yang didukung oleh PBB di Indonesia sebagai bagian dari Festival Patjarmerah Kecil pada Sabtu lalu, Ia diminta untuk menceritakan kesehariannya di atas awan.
“Saya bangun dan makan awan untuk sarapan. Ketika saya haus, saya membuka mulut untuk meminum air hujan. Kemudian saya bermain sepak bola. Ketika saya lelah, saya tidur di atas awan,” Ia membacakan ceritanya dengan malu-malu, matanya tersenyum.
Hanya dengan pertanyaan sederhana, imajinasi Ali langsung melesat. Begitu pula dengan imajinasi 30 anak lainnya, 10 di antaranya adalah pengungsi, yang ikut serta dalam sesi yang dipandu oleh Reda Gaudiamo, seorang pegiat literasi digital di Indonesia.
David, seorang anak berusia 10 tahun dari Jakarta, ketika diminta untuk melengkapi kalimat yang dimulai dengan “bagaimana jika”, Ia menulis, “Bagaimana jika saya menjadi Raja para Dewa? Aku bisa membuat hujan dan menghentikan waktu.”
Nadia berkata, “Bagaimana jika saya menjadi seekor kucing? Aku bisa berlari, memanjat, dan mencuri makanan.” Ada juga keinginan sederhana dari Athia, seorang pengungsi anak dari Sri Lanka: “Bagaimana jika saya menjadi anak terakhir di keluarga saya? Saya tidak perlu lagi mengurus adik-adik saya atau membantu ibu di dapur,” katanya.
Semakin sore, anak-anak semakin tidak sabar dan ingin membacakan cerita mereka sekeras mungkin. Kadang-kadang cerita-cerita yang terlalu rumit berakhir menggantung di udara, menunggu saat yang tepat untuk diakhiri.
Dalam lokakarya tersebut, anak-anak merasa bebas untuk mengekspresikan apa saja yang terlintas di benak mereka. Sepertinya semangat tanpa batas menjadi bagian dari diri mereka. Sejenak, mereka lupa untuk menengok tablet atau telepon genggam mereka, dan hadir dalam wujud aslinya: seorang anak.
Festival Patjarmerah Kecil adalah perayaan tahunan untuk literatur anak dan pembelajaran kreatif di Indonesia. Festival ini menampilkan beragam pilihan buku anak-anak dan mempromosikan literasi dan ekonomi kreatif.
Festival dan pasar buku ini berkeliling ke seluruh Indonesia dengan misi menciptakan akses yang adil dan setara terhadap literasi. Lebih dari sekadar menyediakan akses terhadap bahan bacaan, festival ini juga menyediakan ruang dan kesempatan belajar yang sama bagi semua orang.
Perserikatan Bangsa-Bangsa di Indonesia berpartisipasi dalam Festival Sastra Anak “Patjarmerah Kecil” tahun ini, dengan memanfaatkan platform globalnya untuk meningkatkan perayaan tahunan sastra anak dan pembelajaran kreatif di Indonesia.
Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) berpartisipasi dalam lokakarya bertajuk “Ceritakan kisahmu hari ini” pada tanggal 6 Juli, lokakarya ini diikuti oleh 10 anak pengungsi dan 20 penulis anak lokal.
Indonesia terus mengalami penurunan jumlah buta huruf secara bertahap. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2023, jumlah buta huruf di kalangan penduduk berusia 10 tahun ke atas mencapai 3,18%.
Secara global, satu dari lima anak, remaja, dan pemuda tidak mendapatkan akses pendidikan, dengan kesenjangan yang diperparah oleh kemiskinan, gender, bahasa, disabilitas, etnis, dan status migrasi. Transformasi pendidikan diidentifikasi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai salah satu dari enam kunci pendorong untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
------------------------------------------
Artikel ini pertama kali diterbitkan di website IOM Indonesia dan dapat diakses melalui link ini: https://indonesia.iom.int/id/stories/menulis-tanpa-batas