Saya senang dapat bergabung dengan Anda semua sebagai moderator dalam diskusi penting ini mengenai sistem pangan berkelanjutan, yang selaras dengan agenda ketahanan pangan sebagai salah satu prioritas nasional Presiden untuk Indonesia.
Acara hari ini berlangsung pada waktu yang sangat penting bagi kita untuk mengembangkan ide-ide menjelang KTT Sistem Pangan PBB yang akan diselenggarakan akhir bulan ini di Addis Ababa, di mana para pemerintah akan membahas skala investasi yang dibutuhkan untuk mentransformasi sistem pangan global secara berkelanjutan.
Pemerintah Indonesia, bersama PBB, akan menyampaikan solusi kepada sektor swasta mengenai praktik pertanian cerdas iklim.
Praktik-praktik ini mencakup pengurangan emisi, penurunan dampak lingkungan, peningkatan produktivitas, peningkatan penggunaan energi terbarukan, dan peningkatan nilai gizi tanaman melalui biofortifikasi benih.
Kontribusi sektor swasta sangat penting dalam semua hal tersebut.
Sekretaris Jenderal PBB menekankan bahwa “pembangunan adalah urusan semua pihak” dan hal ini sangat relevan dalam konteks sistem pangan.
Artinya, sektor swasta di Indonesia perlu berkontribusi lebih aktif, dan IGCN adalah platform ideal untuk memanfaatkan komitmen sektor ini terhadap ketahanan pangan berkelanjutan.
Yang juga penting, tidak ada solusi tunggal untuk semua konteks, dan dialog hari ini memberi kita kesempatan untuk mendengar langsung dari para pemimpin bisnis tentang solusi mereka dalam meningkatkan skala pertanian organik, menghasilkan pangan biru secara lebih berkelanjutan, dan mengurangi emisi dari produk mereka maupun seluruh rantai pasokannya.
Saya ingin diskusi kita bersifat praktis agar kita bisa saling belajar mengenai apa yang bisa berhasil dalam skala besar, dan apa yang tidak.
Saya sangat menantikan wawasan dari Anda semua.
Transformasi sistem pangan Indonesia penting untuk menghijaukan seluruh perekonomian negara sekaligus melindungi sumber daya alam yang melimpah.
Dari 37 juta petani di seluruh Indonesia, lebih dari sembilan dari sepuluh merupakan petani kecil yang berperan penting dalam menanam tanaman pangan utama seperti padi.
Namun, praktik pertanian saat ini memerlukan sumber daya yang besar dan menghasilkan emisi tinggi, di mana sektor pertanian menyumbang sekitar 7% emisi gas rumah kaca. Budidaya padi sendiri menyumbang sepertiga dari emisi tersebut.
Dalam KTT Sistem Pangan mendatang, Indonesia akan menampilkan strateginya untuk memperluas praktik pertanian padi yang cerdas iklim dan penggunaan benih padi biofortifikasi melalui skema asuransi padi yang menjangkau setengah juta petani kecil.
Strategi ini akan melibatkan kemitraan dengan sektor swasta dalam skema pembiayaan mikro yang akan mengurangi emisi dan meningkatkan nilai gizi.
Kami juga ingin menganalisis jejak karbon dari produksi padi untuk lebih memahami emisi yang dihasilkan sepanjang siklus hidup tanaman tersebut.
Hal ini akan memungkinkan kita memahami pada langkah mana emisi bisa dikurangi.
Hasil analisis ini akan menjadi masukan untuk kebijakan, dari produksi hingga konsumsi.
Semua ini membutuhkan peningkatan skala pembiayaan berkelanjutan melalui kemitraan dengan investor guna membuka akses modal untuk pertanian cerdas.
Sebagai PBB, kami ingin bermitra dengan sektor swasta untuk mengembangkan kerangka kerja SDG bonds dan sukuk hijau yang sesuai untuk mendukung mobilisasi modal.
Saya akan berhenti di sini dan memperkenalkan para anggota panel saya.
Pak Jarot, pengarah nasional bidang Pangan dan Pertanian di BAPPENAS, adalah ahli dalam sistem pangan berkelanjutan dan, saya harus katakan, seorang master di banyak bidang, termasuk transisi energi dan perubahan iklim. Saya sering berdiskusi dengan beliau, dan baru-baru ini nasihat beliau membantu kami menyusun dana percepatan SDG untuk Indonesia.
Pak Jarot, terima kasih telah bergabung pagi ini. Pertanyaan saya untuk Bapak adalah: apa yang Bapak harapkan dapat dilakukan lebih banyak oleh sektor swasta di Indonesia untuk mempercepat agenda transformasi sistem pangan berkelanjutan? Dan di bidang apa Bapak ingin mereka lebih fokus?
Ibu Nurdiana Darus, Direktur Sustainability di Unilever, senang sekali Ibu bisa bergabung sebagai perwakilan IGCN. Ibu Nurdiana memiliki pengalaman unik bekerja di pemerintahan, PBB, dan sektor swasta – sehingga bisa melihat isu dari tiga perspektif. Pertanyaan saya fokus pada Unilever dan praktik terbaik apa yang telah berhasil diterapkan dalam mendorong transformasi pangan berkelanjutan, khususnya terkait ESG dan rantai pasok. Pelajaran apa yang menurut Ibu bisa direplikasi oleh UMKM di Indonesia?
Professor Damayanti Buchori adalah tokoh terkemuka dalam entomologi dan ilmu keberlanjutan di Indonesia. Beliau adalah dosen di Departemen Proteksi Tanaman, IPB University, dan dikenal karena jembatannya antara riset akademik, kebijakan, dan implementasi praktis – terutama dalam ketahanan pangan, pengelolaan lahan berkelanjutan, konservasi, jasa ekosistem, dan pembangunan pertanian. Pertanyaan saya sederhana. Sebagai ahli ilmu keberlanjutan, apa yang perlu dilakukan Indonesia untuk meningkatkan upaya transformasi sistem pangan berkelanjutan, dan menurut Ibu, apa langkah cepat (quick win) yang bisa diambil?
Terakhir, kita memiliki Ibu Marieska Widhiana, Kepala Global Marketing dari United Family Food. Pengalaman beliau di perusahaan FMCG besar sangat penting bagi agenda sistem pangan berkelanjutan. Ibu Marieska, dari perspektif perusahaan dan sebagai perwakilan IGCN, bagaimana UFF menangani isu ESG, jejak karbon, dan SDGs secara korporat dan dalam rantai pasoknya?