Setelah Gelap: Mendorong Transit yang Aman bagi Wanita yang Bepergian di Malam Hari
Pulse Lab Jakarta bekerja sama dengan UN Women melakukan penelitian tentang bagaimana perempuan menavigasi transportasi umum di malam hari. Sesuai dengan judul “After Dark”, tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk memahami pola mobilitas dan persepsi keselamatan di kalangan pekerja perempuan yang sering bepergian pada malam hari.
Pemerintah kota saat ini mengadopsi teknologi canggih dan data yang hampir real-time untuk meningkatkan perencanaan dan pemberian layanan guna meningkatkan kualitas hidup warganya. Dikenal dengan pendekatan kota pintar, aspek wacana mengenai perempuan terfokus pada peningkatan mobilitas. Namun, untuk dapat menavigasi kota-kota yang berkembang pesat ini, perempuan terkadang harus mengembangkan mekanisme keselamatan mereka sendiri karena kota pintar tidak selalu berarti kota yang aman.
Penelitian ini berfokus secara khusus pada pengalaman perempuan yang bekerja sebagai penjaga toko, kasir, pelayan restoran dan yang bekerja di usaha kecil lainnya. Penelitian ini dilakukan di kota-kota Indonesia yaitu Jakarta, Medan, Semarang, dan Surabaya.
Tiga puluh tujuh responden perempuan berpartisipasi dalam penelitian ini. Para perempuan ini mencatat pengalaman perjalanan mereka selama empat hari dalam buku harian, yang menjadi batu loncatan bagi Pulse Lab Jakarta untuk melakukan 33 wawancara mendalam tambahan. Sebagai bagian dari penelitian, beberapa responden dibayangi dalam perjalanan pulang pada malam hari, yang memberikan peneliti konteks kehidupan nyata untuk membantu mensintesis informasi dan menganalisis temuan.
Penelitian ini mengungkapkan bahwa persepsi responden mengenai keselamatan ada pada suatu spektrum—ini bukan sekedar dikotomi antara aman dan tidak aman. Meskipun pengalaman perjalanan malam hari mereka secara keseluruhan dipengaruhi oleh berbagai faktor, pertimbangan yang paling menonjol mencakup kualitas infrastruktur publik, efisiensi layanan transportasi, dan rasa familiar perempuan terhadap lingkungan sekitar mereka. Daripada membatasi mobilitas mereka karena masalah keamanan, perempuan mencoba mencari cara untuk terus bepergian, seperti membangun mekanisme perlindungan mereka sendiri. Mekanisme ini membantu mereka mengurangi ketergantungan pada teman, keluarga, sesama penumpang, dan penonton saat melakukan perjalanan malam.
Tantangan utama yang muncul dari diskusi dengan perempuan ada dua: bagaimana beban yang dibebankan pada perempuan untuk menjaga keselamatan mereka dapat dikurangi dan langkah-langkah apa yang dapat diambil untuk membangun kota yang lebih aman dan inklusif.
Lima peluang untuk intervensi diidentifikasi:
- Reposisi Organda (organisasi transportasi darat yang dibentuk berdasarkan Keputusan Menteri tahun 1963) untuk memimpin reformasi angkot dengan menerapkan dan memantau pedoman kendaraan dan mengemudi untuk memenuhi standar keselamatan
- Menata ulang perhentian angkot (sejenis transportasi yang mengangkut penumpang dalam wilayah kota melalui bus kecil dan mobil penumpang)
- Mendorong pedagang kaki lima menjadi sipir jalan
- Merancang kartu perdana pendatang baru untuk pekerja migran
- Memungkinkan pengamat untuk mengambil tindakan
Untuk memperingati 16 Hari Kampanye Aktivisme melawan kekerasan berbasis gender, sebuah diskusi publik diadakan di Jakarta untuk berbagi temuan dari penelitian dan memicu diskusi terbuka tentang cara menciptakan ruang publik yang lebih aman dan inklusif bagi perempuan dan anak perempuan.