Dari Tiada ke Keberlimpahan: Meraup Keuntungan dari Tanah Gambut di Indonesia
---
LIMBUNG DAN JONGKAT, KALIMANTAN BARAT – Para petani di provinsi Indonesia, Kalimantan Barat, saat ini berusaha menyesuaikan teknik pertanian mereka dengan pendekatan yang lebih ramah iklim. Hasilnya cukup menggembirakan. Pembakaran lahan bisa dihindari berkat inisiatif Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) Indonesia, dengan dukungan dari Kantor Layanan Proyek Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNOPS).
Pencapaiannya cukup signifikan: gedung sekolah berhasil diselamatkan dari kebakaran; para petani mendapatkan pendapatan 50 persen lebih tinggi; dan gambut yang lebih sehat mengurangi emisi gas rumah kaca.
Sejak diluncurkan pada tahun 2019, program yang mencakup pelatihan untuk warga desa dan peningkatan infrastruktur kritis, secara dramatis mengurangi risiko kebakaran dan membekali penduduk pada 121 desa di Kalimantan Barat pesisir dengan keterampilan dan sumber daya baru untuk komunitas mereka.
Bertani Tanpa Membakar
"Kami belajar bagaimana mengolah tanah tanpa membakar semak dan sisa tanaman dan sekaligus menemukan cara menanam tanaman yang dapat kami jual dengan harga lebih tinggi," kata Suprapto, seorang petani di desa Limbung yang terletak, tepat di selatan Pontianak, ibu kota provinsi.
"Pelatihan yang kami terima membuat segalanya begitu sederhana," kata Sumi, yang memimpin kelompok petani perempuan di Jongkat. "Berkat riset pasar oleh BRGM dan mitranya, kami juga belajar tanaman apa yang seharusnya kami tanam untuk mendapatkan uang."
Limbung dan Jongkat terletak di lahan gambut, lahan basah yang tanahnya sebagian besar terdiri dari bahan organik yang berasal dari sisa-sisa tanaman yang mati dan membusuk. Dalam kondisi geologis tertentu, gambut akhirnya berubah menjadi batubara.
Sama seperti lapisan batubara, lahan gambut menyimpan jumlah karbon dioksida yang sangat besar dan berpotensi terbakar. Kebakaran tidak hanya menghancurkan desa dan mata pencaharian petani, tetapi juga melepaskan jumlah karbon dioksida yang substansial.
Pembakaran semak untuk membersihkan lahan dan sisa tanaman setelah panen menyebabkan 245 kebakaran di daerah sekitar Limbung pada tahun 2021. Angka yang besar mengingat pada tahun 2009 pemerintah melarang petani membakar lahan gambut. "Tetapi saat itu kami tidak mengetahui metode pertanian lain, kami tidak memiliki pilihan," jelas Suprapto.
Gambut yang Kembali
Terong adalah makanan lezat dan tanaman komersial bagi para petani gambut di Jongkat, Kalimantan Barat.
Melalui intervensi BRGM, sebagian besar lahan gambut di sekitar Limbung kembali lembab, memungkinkan para petani menanam sayuran seperti mentimun, tomat, cabai, dan terong.
"Pertanian hortikultura benar-benar menguntungkan," ujar Suprapto. "Pendapatan warga desa yang menjadi bagian dari program ini meningkat setengahnya."
Untuk pendapatan tambahan, kata Suprapto, dalam waktu setahun dapat membantu keluarga untuk merenovasi rumah mereka, membeli sepeda motor baru, dan membiayai pendidikan anak-anak mereka.
Di Jongkat, para petani lokal mengidentifikasi tanaman apa yang paling cocok untuk lahan mereka dan untuk bertani tanpa membakar, dengan dukungan dari BRGM dan organisasi non-pemerintah (LSM) yang dilibatkan oleh UNOPS sebagai bagian dari proyek yang didanai oleh Pemerintah Norwegia.
Sekitar 20 keluarga mendapatkan pelatihan tentang bertani tanpa membakar dan penggunaan pupuk alami, dan sekarang mereka menunjukkan metode tersebut kepada teman dan keluarga di komunitas lain. "Ada gurauan bahwa baiknya menikahi seseorang dari Jongkat karena Anda akan belajar cara pertanian yang lebih menguntungkan," kata Sumi dengan senyum.
Memblokir Kanal, Menyimpan Air
Melatih warga desa dalam metode bertani tanpa membakar sangat penting untuk menjadikan desa-desa pesisir Kalimantan Barat lebih berkelanjutan. Sama pentingnya adalah meningkatkan infrastruktur irigasi untuk mempertahankan air hujan di lahan gambut.
Penghalang kanal membantu menyimpan air di daerah lahan gambut selama musim kemarau, menjaga tanah tetap lembab.
UNOPS menyediakan desain dan pendanaan untuk pembangunan beberapa penghalang kanal percobaan - struktur beton yang menyimpan air di kanal yang melintasi daerah tersebut, membuatnya tersedia sepanjang tahun untuk pemadam kebakaran dan irigasi.
Irigasi yang lebih baik mencegah tanah retak, mengering, dan membusuk, sehingga mengurangi jumlah karbon dioksida yang dilepaskan ke atmosfer. Restorasi gambut juga melibatkan penghijauan daerah tersebut, yang pada gilirannya menjaga tanah tetap lembab dan mengurangi kemungkinan kebakaran dan pelapukan.
Dengan pendanaan Pemerintah dan desain berdasarkan model UNOPS, BRGM dan mitranya telah membangun 179 penghalang kanal di 27 desa di daerah tersebut.
BRGM, dengan dukungan dari UNOPS, Kementerian Kehutanan, dan pihak-pihak lainnya, telah melaksanakan proyek-restorasi di 852 desa di Kalimantan, Papua, dan Sumatera. Namun, ribuan lainnya masih memerlukan perhatian.
"Hasilnya bagus, namun belum cukup," kata Raharjo.
Keterlibatan komunitas menjadi kunci kesuksesan di setiap tahap, ujar Akira Moretto, Manajer Pelaksana di UNOPS Indonesia.
"Memantau kebakaran sulit," katanya. "Memberikan peluang kepada masyarakat dalam bertani tanpa membakar adalah cara yang jauh lebih efektif dalam melindungi lahan gambut serta melawan perubahan iklim sekaligus meningkatkan mata pencaharian. Ini memerlukan komitmen jangka panjang dari semua pihak."
Artikel ini awalnya diterbitkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa yang dapat ditemukan melalui tautan ini: https://news.un.org/en/story/2023/08/1139402