Siswi Berkebutuhan Khusus Lebih Percaya Diri dan Berperan Atas Tubuh Mereka
-----
Keceriaan kelima siswi di kelas pagi yang dipimpin oleh guru Reni Gusnaeni terlihat jelas. Saat refrain piano yang menarik dimulai, Nabila, seorang anak berusia 14 tahun dengan Down Syndrome meraih mikrofon saat Kanza yang berusia 13 tahun bangkit dari kursinya. Mereka bergabung dengan siswa autistik berusia 15 tahun, Lazuardi dan Cici, dan kemudian Jenar, seorang remaja berusia 17 tahun dengan disabilitas intelektual yang mendorong kacamatanya yang berbingkai putih ke atas hidung dan mulai bergoyang mengikuti irama.
“Aku anak dengan tubuh yang sehat, sedang mengalami masa puber,” para siswai bernyanyi, yang tidak akan menjadi yang terakhir kalinya pagi itu. Mengiringi baris pembuka lagu tersebut adalah gerakan merujuk diri sendiri yang membawa ujung jari para siswi ke bahu mereka dan kemudian gerakan kekuatan dengan tangan mengepal di pelipis. Seiring dengan berlanjutnya lagu, lebih banyak gerakan yang mengikuti: telapak tangan diletakkan di atas jantung, lalu lengan dikepalkan di dada dalam pelukan erat.
Mengajarkan anak muda tentang kesehatan seksual, perubahan fisik dan emosional yang terjadi pada masa pubertas, serta sentuhan konsensual dan non-konsensual dapat menjadi tantangan dalam budaya di mana banyak yang menganggap topik yang berhubungan dengan seks sebagai hal yang tabu. Hambatan budaya sering kali lebih besar ketika harus mengajar anak muda dengan disabilitas intelektual. Namun, Ibu Gusnaeni dan para pendidik berkebutuhan khusus di sembilan provinsi lain di Indonesia merintis pendekatan pembelajaran yang dirancang untuk memberikan pemahaman yang lebih baik kepada kaum muda tentang kesehatan seksual dan reproduksi serta hak-hak reproduksi mereka, dan dengan demikian meningkatkan rasa percaya diri dan kemandirian mereka. Lagu pubertas yang diciptakannya merupakan bagian dari serangkaian alat bantu pendidikan yang terinspirasi dari pelatihan yang dirancang oleh United Nations Population Fund (UNFPA) bersama dengan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, dan Kementerian Kesehatan. Alat-alat tersebut, katanya, telah membantu 27 siswa di SLB-C Plus Asih Manunggal, sebuah sekolah luar biasa swasta di Bandung, untuk menentukan batas-batas tubuh dan menjadi lebih tegas dalam menjaganya.
"Sekarang mereka bisa menolak orang yang ingin menyentuh mereka, bahkan ketika mereka sedang bermain," kata Gusnaeni. "Mereka juga lebih percaya diri untuk mengatur ruang privat mereka, misalnya saat ke kamar mandi."
Materi pembelajaran yang diadopsi atau dikembangkan oleh Ibu Gusnaeni setelah mengikuti kursus UNFPA-Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi meliputi boneka sesuai anatomi, dan celemek beranotasi yang dapat dipakai guru untuk mengilustrasikan organ reproduksi laki-laki dan perempuan. Ia juga menciptakan buku taktil yang membantu siswa dengan disabilitas intelektual untuk belajar mengelola menstruasi. Pada halaman-halaman berikutnya, kantung-kantung kain yang lembut berisi produk-produk seperti handuk sanitasi, tampon, dan cangkir menstruasi.
Lebih dari sepertiga anak perempuan (38%) yang sudah mulai menstruasi merasa malu dengan tubuh mereka saat menstruasi, menurut Survei Dewasa Muda Global 2019 di Indonesia, dan 8% melaporkan bahwa mereka tidak merasa nyaman untuk membicarakan menstruasi. Bagi siswa dengan disabilitas intelektual yang menyebabkan kesenjangan antara perkembangan fisik dan kemampuan kognitif, perawatan diri bisa menjadi lebih sulit. Kesenjangan ini juga bertepatan dengan meningkatnya risiko eksploitasi. Penelitian yang dilakukan oleh University of Liverpool dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) di 17 negara berpenghasilan rendah menunjukkan bahwa anak-anak penyandang disabilitas 2,9 kali lebih mungkin mengalami kekerasan atau pelecehan seksual dibandingkan dengan teman sebayanya yang tidak menyandang disabilitas, sementara anak-anak dengan disabilitas intelektual 4,6 kali lebih mungkin.
"Setiap anak muda, tanpa terkecuali, memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan kesehatan reproduksi agar mereka memiliki bekal yang cukup untuk melindungi diri mereka sendiri dari tantangan-tantangan yang muncul di masa remaja, dan membuat keputusan yang tepat tentang tubuh dan masa depan mereka," ujar Anjali Sen, Perwakilan UNFPA Indonesia. "Lebih penting lagi untuk memberikan pendidikan Kesehatan Reproduksi Remaja bagi remaja dengan disabilitas intelektual yang lebih rentan terhadap eksploitasi dan pelecehan seksual."
Memberikan pendidikan tentang aspek emosional, fisik, dan sosial dari seksualitas kepada remaja dengan disabilitas intelektual merupakan komponen inti dari program rintisan UNFPA yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan guru dalam memberikan pendidikan kesehatan reproduksi remaja. Selain di Jawa Barat, di mana SLB-C Plus Asih Manunggal berada, program rintisan tahun 2020-2025 ini juga dilaksanakan di Aceh, Sumatera Utara, Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Barat, dan Papua. Hingga saat ini, program ini telah melatih 332 "guru utama", yang kemudian melatih 1.158 guru di sekolah menengah pertama dan 694 guru di sekolah luar biasa dengan kurikulum ini, sehingga menjangkau 14.712 siswa sekolah menengah pertama dan 246 siswa dengan disabilitas.
Kepala sekolah SLB-C Plus Asih Manunggal, Wiwin Wiartini (59), mengatakan bahwa sebelumnya ia merasa ragu apakah pendidikan kesehatan seksual dan reproduksi cocok untuk sekolahnya. Beberapa orang tua merasa tidak nyaman dengan pelajaran tersebut dan para guru menganggapnya "vulgar untuk menggunakan istilah anatomi yang benar seperti penis dan vagina."
Hal ini berubah ketika seorang mantan siswa berusia 19 tahun hamil setelah dieksploitasi secara seksual oleh tetangganya pada tahun 2020. Insiden ini menggarisbawahi pentingnya mengajarkan siswa tentang batasan dan persetujuan, kata Ibu Wiartini. Sikap juga mulai berubah ketika orang tua dan guru mengamati siswa seperti Nabila, Kanza, Lazuardi, Cici, dan Jenar menjadi lebih percaya diri, ekspresif, dan mandiri.
Sempat menjadi subjek yang kontroversial, pendidikan kesehatan seksual dan reproduksi kini menjadi program unggulan di SLB-C Asih Manunggal, yang berkolaborasi dengan universitas setempat dalam bidang pedagogi. Sebagai "guru utama", Ibu Gusnaeni telah mengajarkan metodenya kepada para guru di 20 sekolah lain di seluruh Jawa Barat, mengamati pembelajaran mereka dan mengembangkan praktik terbaik berdasarkan pendekatan yang terbukti paling efektif.
"Kami benar-benar belajar dari pengalaman ini," kata kepala sekolah Wiartini. "Sejak menerapkan program ini, kami memahami pentingnya program ini dan kami ingin program ini menjadi program nasional."