Cerita
07 Juli 2025
Ahli PBB Soroti Perlunya Reformasi Tata Kelola Air di Tengah Ancaman Bangkrutnya Sumber Daya Air Global
Dunia saat ini tidak lagi sedang menghadapi krisis air, melainkan kita sudah dalam kondisi “bangkrut air”. Pesan ini disampaikan oleh Prof. Kaveh Madani, Direktur United Nations University - Institut Air, Lingkungan, dan Kesehatan (UNU-INWEH), dalam kuliah umumnya di Institut Pertanian Bogor (IPB) dalam rangka kunjungan resminya ke Indonesia.Kunjungan Madani menandai dimulainya kerja sama antara UNU-INWEH dan Radio Republik Indonesia (RRI), lembaga penyiaran milik negara. Melalui kemitraan ini, RRI ditunjuk sebagai sekretariat regional Asia Pasifik untuk Global Media Academy, sebuah platform dari UNU-INWEH yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran publik terhadap isu air, lingkungan, dan kesehatan melalui pemberitaan media. UNU-INWEH yang berbasis di Kanada merupakan lembaga think tank PBB di bidang air yang berfokus pada riset kebijakan berbasis data, pengembangan kapasitas, serta penyediaan solusi atas tantangan global terkait air bersih dan sanitasi, terutama di negara-negara berkembang.Dalam paparan kuliah umumnya di hadapan mahasiswa dan civitas akademika IPB, Madani mengajak masyarakat untuk mengubah cara pandang terhadap persoalan air. Ia menjelaskan bahwa dalam beberapa dekade terakhir, aktivitas manusia telah menguras cadangan air permukaan dan air tanah jauh lebih cepat dari kemampuan alam untuk memulihkannya. “Air permukaan itu ibarat rekening harian kita, sedangkan air tanah adalah rekening tabungan kita yang seharusnya hanya digunakan dalam kondisi darurat,” ujarnya. “Namun kini, banyak negara yang bergantung dan menguras rekening tabungan tersebut tanpa ada rencana untuk mengembalikannya.”Indonesia, sebagai negara kepulauan dengan populasi besar yang sangat bergantung pada sektor pertanian, perikanan, dan energi air, juga menghadapi tantangan serupa meskipun memiliki curah hujan yang tinggi. Pengambilan air tanah berlebihan di Pulau Jawa, penurunan permukaan tanah di Jakarta, deforestasi yang mengganggu siklus hidrologi di Sumatra dan Kalimantan, serta pola hujan yang kian tidak menentu menunjukkan kompleksitas masalah air nasional yang harus kita hadapi dengan serius. Masalah ini bahkan lebih parah di banyak wilayah lain. Madani memaparkan tren global yang menurutnya memperlihatkan gejala kebangkrutan air. Negara-negara maju dengan kapasitas teknologi dan ekonomi yang besar dapat dengan mudah membangun infrastruktur yang memungkinkan mereka mengeksploitasi sumber air secara berlebihan, melampaui daya batas ekosistemnya. Sementara itu, di wilayah seperti Afrika dan Amerika Selatan, banyak dari masyarakatnya harus menghadapi situasi yang disebut Madani sebagai “kelangkaan air berbasis ekonomi”, yaitu kondisi di mana air secara fisik tersedia, namun tidak dapat diakses dan didistribusikan akibat kemiskinan.Ia juga menyoroti ketimpangan dalam perdagangan air global. Produk-produk pertanian yang banyak mengonsumsi air umumnya dihasilkan di negara-negara berkembang yang justru paling rentan terhadap dampak lingkungan. Produk-produk ini kemudian diekspor ke negara-negara maju, sehingga tekanan terhadap sumber daya air berpindah dari satu kawasan ke kawasan lain. “Inilah bentuk nyata dari “perdagangan air virtual” yang mencerminkan ketidaksetaraan dalam isu lingkungan secara global,” katanya.Selain masalah-masalah di atas, krisis iklim juga semakin memperburuk keadaan. Perubahan pola curah hujan, musim kemarau yang lebih panjang, dan suhu global yang terus meningkat menyebabkan sistem air menjadi semakin tidak stabil dan sulit diprediksi. Di sisi lain, ekosistem yang rusak — seperti rawa, danau, dan akuifer — semakin sulit, bahkan mustahil, untuk dipulihkan. Di banyak tempat, kelangkaan air telah menyebabkan kehancuran mata pencaharian warga desa dan memicu ketegangan antarwilayah atau bahkan antarnegara.Alih-alih terus mengandalkan solusi jangka pendek seperti membangun bendungan baru atau fasilitas desalinasi, Madani menyerukan perlunya perubahan cara berpikir menuju adaptasi jangka panjang. “Kita harus jujur mengakui bahwa sebagian kerusakan yang terjadi merupakan suatu yang permanen,” tegasnya. “Masalah ini tidak bisa diselesaikan dalam semalam.”Menanggapi pertanyaan dari audiens mengenai bagaimana membangun kemauan politik untuk menangani persoalan air, Madani menjelaskan bahwa krisis — seperti kekeringan atau banjir —dapat menjadi titik balik penting karena membuka ruang bagi para pembuat kebijakan untuk melakukan reformasi dan mengambil langkah nyata untuk menghadapi isu ini. Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya kolaborasi antara ilmuwan, media, dan masyarakat sipil dalam mengangkat isu air kepada publik dan para pembuat kebijakan sebagai sebuah isu yang genting dan sangat penting.Untuk meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap isu yang kompleks ini, Madani menekankan pentingnya menyusun narasi yang mampu menjangkau khalayak luas di luar komunitas teknis. Ini yang kemudian menjadi tujuan utama dari dibentuknya Global Media Academy, yakni untuk membekali media dengan ilmu dan skill yang dibutuhkan untuk menyampaikan urgensi dan kompleksitas dari persoalan air kepada dunia.“Cerita sedih memang banyak, tetapi kita juga butuh cerita yang memberi harapan,” ujar Madani. “Kita harus mengangkat kisah sukses dan belajar dari komunitas lokal. Dengan mengangkat kisah-kisah keberhasilan, terutama dari negara-negara berkembang, kita bisa sama-sama belajar demi membangun respons global yang lebih inklusif.”
